Novel Sang Pencerah menceritakan riwayat hidup KH.Ahmad Dahlan.
Perjuangan beliau dalam dakwah patut menjadi teladan, kesabaran dan
keistiqomahan tidak diragukan lagi. Beliau melakukan pembaruan dalam
dunia Islam di Indonesia melalui organisasi yang bernama Muhammdiyah
(1912), organisasi tertua yang kemudian disusul dengan berdirinya NU
(Nahdatul Ulama) yang berdiri tahun 1926. Namun, ada hal–hal yang perlu
diperhatikan, beberapa penyimpangan mengenai riwayat KH. Ahmad Dahlan
pada novel tersebut. Tulisan ini bertujuan untuk meluruskan beberapa
penyimpangan dalam menulis riwayat KH. Ahmad Dahlan dalam novel Sang
Pencerah karya Akmal Nasery Basral.
Dalam prolog novel tersebut tercatat tahun 1904, KH. Ahmad Dahlan
yang sebelumnya bernama Muhammad Darwis, berada di Yogyakarta. KH. Ahmad
Dahlan sedang menghadap Sri Sultan Hamengkubowono VII, dan Sri Sultan
memerintahkan agar KH. Ahmad Dahlan untuk kembali ke Mekkah. Tahun 1904,
seharusnya beliau sudah pulang ke Yogyakarta setelah untuk yang kedua
kalinya beliau pergi ke Mekkah selama tiga tahun, dari tahun 1902 sampai
1904. Pada tahun tersebut pula KH. Ahmad Dahlan sempat berguru dengan
KH. Hasyim Asy’ari, pendiri kelompol Nahdatul Ulama.
Sebelumnya, pada tahun 1883 sampai 1888 KH. Ahmad Dahlan pergi haji
sekaligus belajar di Mekkah, beliau mempelajari buku-buku terbitan Mesir
dan Irak selain dari terbitan Mekkah, dan mulai berinteraksi dengan
pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh, Jamaludin Al Afghani, Rasyid Ridha
dan Imam Ibnu Taimiyah. Sepulangnya dari Mekkah pada kepergiannya yang
pertama, KH. Ahmad Dahlan menikahi sepupunya sendiri, Walidah. KH. Ahmad
Dahlan tidak pernah bertemu dengan Rasyid Ridho untuk pergi haji yang
kedua kalinya (1902), dan hanya mempelajari pemikiran – pemikirannya,
selama di Mekkah KH. Ahmad Dahlan bertemu dengan Muhammad Khatib
Minangkabau, Nawawi Al Bantani, Kiyai Mas Abdullah Surabaya, Kiyai Faqih
Gresik.
Biola yang dimiliki beliau seperti yang dikisahkan dalam novel, tidak
ada dalam buku biografi atau mengenai sejarah Muhammadiyah bahwa beliau
pernah memiliki alat musik biola. Di novel tersebut, KH. Ahmad Dahlan
mencoba bahwa keislaman masyarakat saat itu masih dibumbui dengan mitos
dan takhayul, sehingga membuat tidak jelas makna Islam yang disebutnya
“agama yang membawa ketenangan dan keindahan bagi siapa saja”. Ketika
ditanya mengenai apa keindahan dan ketenangan, KH. Ahmad Dahlan hanya
menyuruh muridnya memainkan biola dan meresapinya,.
Sempat menyinggung sedikit mengenai Utsman bin Affan yang pernah
melakukan kesalahan sampai menimbulkan perang saudara. KH. Ahmad Dahlan
berbicara seperti ini, “Maksudku jangankan para Ngarsa Dalem, Khalifah
besar seperti Utsman bin Affan r.a. saja pernah melakukan kesalahan
sampai menimbulkan perang saudara, bukan? Mas Noor tahu sejarah ini”.
Itu bukan kesalahan Utsman bin Affan, tetapi para pemberontak yang
melakukan makar. Saat Utsman bin Affan menjabat sebagai khalifah selama
15 tahun, ada orang munafik yang bernama Abdullah bin Saba’ yang
menyuruh orang – orang Yahudi berpura – pura masuk Islam untuk menebar
fitnah, kemudian adanya kaum munafik yang membuat makar terhadap Utsman
bin Affan.
Utsman bin Affan merupakan tipe orang yang tsiqoh (percaya), lembut
dan berlapang dada, maka dimanfaatkan oleh pemberontak yang bernama
Marwan Al Hakam. Ia adalah sekretaris Utsman bin Affan ketika menjabat
sebagai khalifah, yang diduga menyalahgunakan jabatannya dengan
memalsukan tanda tangan Utsman untuk memecat gubernur Kuffah. Utsman bin
Affan adalah salah satu dari sahabat Rasulullah saw yang dijamin surga
tanpa hisab.
Mengenai penentuan arah kiblat, dalam novel tersebut diceritakan
ketika masuk shalat subuh setelah satu malam melakukan musyawarah dengan
17 orang ulama, KH. Ahmad Dahlan tidak mengikuti imam shalat subuh.
Iman shalat subuh ketika itu shalat subuh tidak tepat dengan arah kiblat
yang benar, tiba – tiba beliau mengubah arah kiblat sendiri. Dalam ilmu
fiqih shalat, tidak boleh makmum tidak mengikuti imam. Makmum harus
mengikuti imam shalat sampai selesai. Kecuali, jika imam shalat batal
shalatnya, bagi makmum laki – laki mengucapkan “subhanallah” dan bagi
makmum perempuan dengan cara menepuk tangan sebanyak tiga kali. Apakah
mungkin seorang KH. Ahmad Dahlan melakukan shalat dengan shaf yang
berbeda dengan imam? Padahal, beliau berposisi sebagai makmum. Ini
merupakan sikap ekstrim, padahal beliau belajar di tanah Jazirah Arab
selama delapan tahun. Musyarah yang dilakukan saat itu berlangsung
dengan tertib, bahkan para peserta musyarawah bersalaman dan mengucapkan
terima kasih, walau tidak memperoleh kesepakatan.
Sebuah hadits dikatakan, dari Jabir berkata, “Rasulullah saw.,
terjatuh dari kudanya di Madinah pada batang kurma, maka telapak kakinya
terkilir, lalu kami menjenguk di kamar Aisyah r.a. Kami mendatanginya
sedangkan Nabi sedang shalat sambil duduk, maka kami shalat di belakang
beliau dengan berdiri. Kemudian kami mendatanginya sekali lagi sedangkan
beliau tengah shalat fardhu sambil duduk, maka kami shalat di belakang
beliau sambil berdiri, tetapi beliau mengisyaratkan kami untuk duduk.
Setelah shalat beliau bersabda, ‘Bila imam shalat dengan duduk maka
shalatlah dengan duduk, dan bila shalat dengan berdiri maka shalatlah
dengan berdiri. Janganlah berdiri sedangkan imam duduk, seperti yang
dilakukan oleh orang – orang Persi terhadap pembesar – pembesar
mereka’”.
Pada kisah penghancuran Langgar Kidul, yang merupakan peninggalan
ayah beliau–karena langgar tersebut langsung mengarah pada
kiblat—dihancurkan dengan cara membabi buta dengan teriakan takbir dan
kafir oleh yang tidak setuju dengan perubahan arah kiblat. Dalam buku
Muhammadiyyah sebagai Gerakan Islam, dikatakan bahwa Penghulu KH.
Muhammad Khalil Kamaludiningrat menyampaikan secara lisan agar
membongkar suraunya (Langgar Kidul). KH. Ahmad Dahlan tidak bisa
melaksanakan perintah tersebut, KH. Muhammad Khalil menyuruh 10 orang
kuli dengan peralatan lengklap untuk membongkar. Peristiwa tersebut
terjadi pada tahun 1898. (Kamal : 2005)
Tahun 1909 KH. Ahmad Dahlan memang sempat bergabung dengan Boedi
Oetomo, namun itu tidak lama. KH. Ahmad Dahlan bergabung dengan Boedi
Oetomo adalah untuk mengajarkan Islam kepada para anggotanya, namun
pernah menolak usulan KH. Ahmad Dahlan untuk mengadakan kajian keislaman
di dalam Boedi Oetomo. Banyak pertanyaan mengenai bergabungnya KH.
Ahmad Dahlan ke Boedi Oetomo, karena anggota Boedi Oetmo adalah orang –
orang Freemasonry yang sama sekali tidak mendukung kemerdekaan
Indonesia. Mereka hanya mengutamanakan orang – orang bangsawan dan
priyai, bahkan mendukung penjajahan Belanda di Indonesia. Anehnya, dalam
novel tersebut pendeklarasian organisasi Muhammdiyah, diadakan di Lodge
Malioboro. Lodge adalah tempat berkumpul atau tempat ritual upacara
orang – orang Freemasonry.
Dalam novel tersebut KH. Ahmad Dahlan sangat dekat dengan Boedi
Oetomo, bahkan mendapat dukungan untuk mendirikan organisasi yang
bernama Muhammadiyah pada tahun 1912. Tidak hanya itu, pada kongres
Boedi Oetomo diselenggarakan di rumah KH. Ahmad Dahlan. KH. Ahmad Dahlan
tidak hanya aktif di organisasi tersebut, tetapi juga ada Jam’iyatul
Khair, Syarikat Islam (SI), dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad
SAW. Kenapa yang ditonjolkan adalah organisasi Boedi Oetomo? Kenapa
tidak menulis riwayat beliau ketika berkiprah di SI? Apakah ada
kepentingan politik juga dalam novel tersebut? KH. Ahmad Dahlan memang
memulai belajar berorganisasi adalah melalui organisasi Boedi Oetomo.
Tahun 1909 – 1912 KH. Ahmad Dahlan bergabung dengan Boedi Oetomo,
kemudian menarik diri dari Boedi Oetomo dan mendirikan organisasi
Muhammadiyah yang berdiri pada tanggal 18 November 1912. Pendiri Boedi
Oetomo pernah mengeluarkan pernyataan yang menghina Islam, tidak perlu
pergi haji, karena hanya buang – buang waktu saja. Organisasi
kepemudaannya pun turut menghina ajaran Islam, terutama tentang
perkawinan. Boedi Oetomo sebenarnya hanya sebagai alat orang – orang
Freemasonry untuk bisa masuk perpolitikan di Indonesia. Freemason adalah
sebuah organisasi persaudaraan internasional, yang merupakan gerakan
rahasia dari kaum Zionis dan Yahudi, berdiri pada abad ke 14 bertempat
di Skotlandia. Tujuan mereka jelas, untuk menghancurkan umat Islam di
seluruh dunia.
Awalnya, Freemasonry diambil dari cerita “Sefer Qabbalahh”, Abram
adalah nenek moyang orang Israil yang telah mewariskan rumah Eloh di
bukit Moria. Setelah rumah itu hancur karena di tinggal oleh Imam Ya’qub
dan keluarganya hijrah ke Mesir, maka Raja Salomon hendak menggantikan
dengan sebuah rumah baru yang bernama “Haikal Sulaiman”. Raja Salomon
menyuruh orang untuk menjemput Prof.Heram dari negeri Sor, ia adalah
pengecor tembaga dan ahli dalam membuat rumah batu. Untuk mendirikan
bangunan tersebut, ia memanggil para tukang batu bebas (Mason).
Freemason berarti himpunan para tukang batu bebas atau disebut juga
Tarekat Mason Bebas. Dalam bahasa Arab disebut Masuniyyah, sedangkan
dalam bahasa Perancis disebut Vrij Metselarij.
Selama di Syarikat Islam (1913), KH. Ahmad Dahlan menempati jabatan
penting, yaitu menjadi Penasehat Pusat dan Komisariat Central Syarikat
islam sekaligus menjadi ahli propaganda aspek dakwah bagi Syarikat
Islam. Tidak hanya itu, beliau termasuk rombongan yang mewakili
pengesahan Badan Hukum Syarikat Islam bersama HOS. Cokroamonoto. Tahun
1905 beliau juga bergabung dengan Jam’iyatul Khair dari kalangan pribumi
bersama Husein Jayadiningrat.
Setelah mendirikan Muhammadiyah, pada tanggal 20 Desember 1912 KH.
Ahmad Dahlan mengajukkan permohonan kepada Hindia Belanda agar
organiasasi Muhammdiyah berbadan hukum, namun baru dipenuhi oleh
pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1914. Izin tersebut hanya berlaku
dan bergerak untuk di daerah Yogyakarta, ada kekhawatiran dari
pemerintah Belanda dengan adanya organisasi Muhammadiyah, sehingga
kegiatan – kegiatannya dibatasi. Ruang gerak dibatasi tidak menghalagi
pergerakan Muhammadiyah, bahkan bertambah menyebar ke Srandakan,
Wonogiri dan Imogiri. Ini sangat bertentangan dengan pemerintah Hindia
Belada, KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menggunakan nama lain
untuk cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta. Nurul Islam di Pekalongan,
Al Munir di Ujung Pandang, Ahmadiyah di Garut, Sidiq Amanah Tabligh
Fatanah (SATF) di Solo yang mendapat pimpinan Muhammdiyah. Pada tanggal
1917, KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi kewanitaan Muhammadiyah
yang bernama Aisyiyah.
Pada tanggal 7 Mei 1921, mengajukkan permohonan kembali kepada
pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang Muhammadiyah di
seluruh Indonesia, karena pada saat itu Muhammadiyah sudah berkembang.
Permohonan tersebut baru dikabulkan pada tanggal 2 September 1921. KH.
Ahmad Dahlan adalah orang yang demokratis, dalam pelaksaan gerak dakwah
Muhammadiyah beliau memfasilitasi para anggotanya untuk mengevaluasi dan
pemilihan pimpinan Muhammadiyah. Selama hidupnya, dalam gerakan dakwah
Muhammadiyah, telah mengadakan dua belas kali pertemuan dalam setahun.
Saat itu dipakai istilah Algeemene Vergadering (Persidangan Umum).
Semenjak ayahnya wafat, KH. Ahmad Dahlan menggantikan ayahnya sebagai
ketib Masjid Agung, Kauman, Yogyakarta. Oleh teman seprofesinya dan
para kiyai, KH. Ahmad Dahlan diberi gelar ketib amin (khatib yang
dipercaya). Kesibukannya sebagai wirausaha batik yang sukses, KH. Ahmad
Dahlan tetap menambah tsaqofah (wawasan) atau ilmu dengan mendatangi
ulama – ulama untuk memperbaiki umat tempat beliau tinggal, sampai
beliau meninggal pada tanggal 25 Februari 1923.
Novel Sang Pencerah menampilkan riwayat tokoh KH. Ahmad Dahlan,
tetapi dalam novel tersebut tidak disajikan secara lengkap, dari
kelahiran sampai wafatnya KH. Ahmad Dahlan, bisa dikatakan juga sepotong
– sepotong. Sangat disayangkan. Tidak semua orang tahu mengenai sosok
KH. Ahmad Dahlan dan pergerakan dakwah melalui organisasi yang didirikan
beliau sendiri yang bernama Muhammadiyah. Sebagai akademisi, diperlukan
pemikiran kritis dalam memahami sejarah Islam di Indonesia. Tidak hanya
dipahami, tapi juga dipelajari.
Melalui film dan novel Sang Pencerah ini mudah – mudahan bisa
menambah wawasan masyarakat tentang sosok KH. Ahmad Dahlan dan
pergerakan dakwah beliau. Akan lebih baik jika menyajikannya dengan
meluruskan sejarah di Indonesia, karena sejarah Islam di Indonesia sudah
banyak yang didistorsi. Jadikan sejarah Islam di Indonesia ini benar –
benar objektif, bukan subjektif. Tidak hanya dalam novel, tetapi juga
dalam film Sang Pencerah.
Minggu, 22 Januari 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar